Posted on 4 years ago
Artikel Ini merupakan terjemahan untuk pemahaman lebih tepat kunjungi https://eos.org/research-spotlights/how-forest-degradation-affects-carbon-and-water-cycles. Penulis Asli : Kate Wheeling, Penerjemah : Jambari
Sumber: Journal of Geophysical Research: Biogeosciences
Degradasi hutan, Termasuk salah satunya adalah penebangan hutan secara massif seperti tampak pada gambar di atas di wilayah ulayat suku Piriti di hutan Amazon Brazil, dapat secara signifikan berdampak pada alur energi, air, dan karbon di hutan. Credit: Felipe Werneck/IBAMA, CC BY 2.0
Hutan hujan tropis menyediakan kebutuhan ekosistem yang sangat melimpah. Amazon sebagai contoh, berfungsi sebagai area genangan karbondioksida dan sumber uap air di atmosfer yang kemudian jatuh sebagai hujan maupun salju. Namun aktivitas manusia dan perubahan iklim mengancam fungsi ini.
Banyak studi telah memberikan pemahaman tentang deforestasi, yang merujuk pada alih fungsi hutan seperti agrikultur yang menyebar luas di berbagai penjuru Amazon, yang berdampak pada hilangnya karbon dan evapotranspirasi pada tumbuhan. Sementara itu, degradasi hutan, termasuk penebangan hutan, kebakaran hutan, dan fragmentasi hutan juga berdampak besar pada deforestasi, yang kemudian berdampak pada siklus air, energi, dan karbon di hujan tropis ini kurang dipahami oleh masyarakat.
Karena begitu banyak hal-hal yang menyebabkan deforestasi hutan, dan terjadi pada daerah yang terisolasi ataupun pada tanah-tanah milik perorangangan menyebabkan sulitnya pengumpulan data dilakukan secara langsung kelapanagan, maka para peneliti menggunakan data resolusi tinggi lidar yang dikumpulkan melalui pesawat untuk menjawab tantangan tersebut.
Longo dkk, menggabungkan data baik data observasi lapangan maupun lidar menjadi sebuah model demografi ekosistem untuk membandingkan aliran air, energi, dan karbon antara hutan dan atmosfer di kedua area yang terdegradasi maupun utuh di Amazon. Lidar data mengungkap variabilitas pada lima area di Amazon bagian timur (salah satunya di Guyana Perancisdan sisanya di Brazl), masing -masing memiliki pola presipitasi yang berbeda dan perubahan penggunaan lahan untuk melihat diversitas hutan yang terdegradasi.
Model tersebut mengindikasikan selama musim panas, evapotranspirasi dan produksi utama menurun 34% dan 35% di tiap-tiap hutan yang terdegradasi dibandingkan yang hutan yang tidak rusak, sementara suhu permukaan pada siang hari meningkat 6,5% dari rata-rata. Meskipun demikian, efek degradasi pada siklus ini kurang begitu tampak. Dalam kata lain, baik hutan utuh maupun yang terdegradasi memberikan respon yang sama pada saat menghadapi tekanan air dan panas extrim.
Pola yang sama juga terjadi pada risiko kebakaran. Pada tahun-tahun biasanya , hutan yang terdegradasi cenderung lebih kering, hangat, dan rentan terjadi kebakaran hutan, tapi saat musim kering, hujan utuh juga rentan terhadap kebakaran hutan, hal ini menggaribawahi pentingnya variabilitas iklim dalam hal-hal yang memicu kebakaran hutan.
Meskipun begitu, model ini juga memiliki keterbatasan, misalnya, tidak mempertimbangkan variasi kedalaman tanah, dan komposisinya, yang juga berpengaruh pada siklus. Studi lebih lanjut menggunakan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) untuk mendata perubahan struktur pada hutan yag terdegradasi sekaligus juga memberikan gambaran bagaimana aktivitas manusia terhadap deforestasi yang berdampak pada keseimbangan energi dan karboon di Amazon. (Journal of Geophysical Research: Biogeosciences, https://doi.org/10.1029/2020JG005677, 2020)
—Kate Wheeling, Science Writer
Citation: Wheeling, K. (2020), How forest degradation affects carbon and water cycles, Eos, 101, https://doi.org/10.1029/2020EO147133. Published on 25 August 2020.